Bedanya COVID-19 dengan Flu Biasa dan Cara Infeksi di Transportasi Umum
Wabah Corona Virus Disease 2019 atau disingkat COVID-19 melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Virus ini berbasis flu dan m,udah sekali penyebarannya, sama seperti ketika Anda sedang flu kemudian orang lain yang pernah berdekatan mendadak kena flu juga. Gejala-gejala flu yang khas biasanya datang dengan cepat, di antaranya demam tinggi, sakit tenggorokan, nyeri otot, sakit kepala, menggigil, pilek atau hidung tersumbat, kelelahan dan seringklai disertai muntah dan diare.
Dokter masih bekerja untuk memahami cakupan penuh gejala flu pada umumnya dengan COVID-19, karena studi awal yang ditemukan bahwa pasien terkena virus Corona yang dibawa ke rumah sakit hampir semuanya menderita demam dan batuk kering, serta banyak yang mengalami kelelahan dan nyeri otot. Pneumonia (infeksi paru-paru) adalah umum pada pasien COVID-19. Bahkan di luar kasus yang paling parah, pneumonia juga dapat menyebabkan kesulitan bernafas. Hidung berair dan sakit tenggorokan jauh lebih jarang terjadi, dilaporkan oleh hanya 5% pasien.
Oleh karena itu, satu-satunya konfirmasi untuk mengetahui apakah Anda terkena COVID-19 ataukah hanya flu biasa adalah dengan menjalani tes kesehatan di rumah sakit.
Bisakah Anda terinfeksi di transportasi umum?
Sebagian besar infeksi sebenarnya terjadi dalam keluarga, dimana orang tinggal dalam jarak dekat. Anda harus berada dalam jarak satu hingga dua meter dari seseorang, baru bisa terinfeksi baik oleh tetesan air yang mengandung virus dari batuk mereka atau ketika mereka berbicara.
Untuk transportasi umum, cara penularan seperti itu mungkin sangat kecil terjadi. Namun, Anda bisa tertular di angkutan umum apabila menyentuh sesuatu yang sebelumnya (tanpa kamu mengetahui atau menyadarinya) disentuh oleh seseorang yang terinfeksi.
Virus ini dapat bertahan selama 48 jam atau bahkan mungkin 72 jam pada permukaan yang keras, seperti kursi, tiang, hingga hand grip (dalam bus atau kereta api). Itulah sebabnya disarankan untuk mencuci tangan secara teratur dan menghindari menyentuh wajah Anda, guna mencegah virus masuk melalui hidung, mulut atau mata.
Apakah ada obat untuk COVID-19?
Untuk saat ini belum ada obatnya. tetapi obat-obatan yang diketahui bekerja melawan beberapa virus berbasis gejala yang sama sekarang ini sedang diuji coba di Cina maupun Amerika Serikat (AS). Salah satu yang mulai memenuhi harapan adalah Kaletra, yang merupakan kombinasi dari dua obat anti-HIV, dan remdesivir, yang dicoba tetapi gagal pada pasien Ebola di Afrika barat pada tahun 2013 dan 2016.
Beberapa dokter Cina juga mencoba chloroquine, obat antimalaria, yang merupakan off-paten, karena itu murah dan sangat tersedia, serta akan sangat berguna di negara-negara berpenghasilan rendah. Hasil pertama diharapkan pada pertengahan Maret 2020 dan harus menunjukkan jika obat setidaknya akan membantu mereka yang paling sakit parah.
Kapan vaksin bisa didapatkan?
Upaya untuk mengembangkan vaksin yang efektif untuk COVID-19 telah dilakukan. Sejumlah tim sudah menguji kandidat vaksin pada hewan dan bersiap untuk melakukan uji coba kecil pada manusia. Perusahaan AS, Moderna Therapeutics, sudah merekrut dan berharap untuk mendaftarkan 45 sukarelawan antara 18 dan 55 orang guna meluncurkan uji coba mereka dalam waktu dekat.
Uji coba fase pertama nantinya bertujuan melihat apakah vaksin memicu respons kekebalan dan apakah dosis yang diberikan menyebabkan efek samping dan dapat diselesaikan dengan cepat.
Fase selanjutnya diperkirakan bakal melibatkan ribuan sukarelawan karena akan menguji lebih detik mengenai kemanjuran vaksin tersebut. Jika terbukti dan berhasil, pastinya vaksin ini dapat diperoleh secara komersial dalam tempo satu tahun ke depan. Tidak mungkin dalam waktu dekat ini, minimal 12 bulan (satu tahun), maksimal 18 bulan (1,6 tahun).